Penetapan dua tersangka pelaku penyerangan Novel Baswedan menyisakan banyak pertanyaan. Apalagi per 6 Januari 2020 besok, tepat 1000 hari sejak kejadian 11 April 2017 menunjukkan pengungkapan yang sangat lambat. Pernyataan itu disampaikan Tim Advokasi Novel Baswedan dalam siaran persnya.
Disebutkan pula, terlibatnya aparat negara dalam hal ini anggota Polri aktif perlu mendapat perhatian, evaluasi dan kebijakan serius dari Presiden. Aparat Polisi yang seharusnya menjaga keamanan atau dengan kata lain mencegah dan menanggulangi kejahatan sehingga mereka dibekali ketrampilan khusus, senjata dan kewenangan khusus.
Sungguh berbahaya apabila kewenangan itu digunakan untuk melakukan kejahatan karena pasti jauh lebih sistematis dan berdampak besar daripada dilakukan anggota masyarakat biasa tanpa keahlian, senjata maupun kewenangan. Jangan sampai hal ini mengarah pada state terorism (teror oleh negara) dan menimbulkan kekhawatiran bagi masyarakat.
Tim Advokasi Novel Baswedan juga menyatakan, 25 Desember 2019, atau dua hari sebelum pengumuman adanya tersangka, Novel Baswedan melalui pelapor bernama Yudha menerima Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) tertanggal 23 Desember 2019 yang pada intinya Penyidik memiliki hambatan dengan belum menemukan dua pelaku.
Novel juga mendapatkan salinan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) ketiga yang dikirim ke Kejaksaan Tinggi. Tim Advokasi menilai adanya penangkapan tersangka 4 hari setelah dikeluarkannya SP2HP dan SPDP menunjukkan (penyidik) Polri selama ini bukannya tidak sanggup (unable) tetapi lebih kepada tidak mau (unwilling) dalam mengungkap perkara ini.
Tim Advokasi mendapat informasi, Pasal yang dikenakan terhadap tersangka adalah Pasal 170 KUHP tentang pengeroyokan dan Pasal 351 ayat (2) KUHP tentang penganiyaan yang mengakibatkan luka berat, Tim Advokasi juga melihati ada kecenderungan yang dibangun bahwa tersangka adalah pelaku tunggal dan menyederhanakan serta mengalihkan kasus kejahatan ini karena persoalan dendam pribadi.
Pernyataan tersangka yang mengaku melakukan bahwa Novel pengkhianat dengan merujuk pada tindakan KPK dan Novel dalam membongkar korupsi penting dilihat sebagai kode yang sangat nyata. Karakter lembaga kepolisian yang memiliki sistem komando dan pangkat tersangka yang rendah menunjukkan tindakannya bukanlah tindakan individual karena Novel dalam mengungkap kasus korupsi terbatas pada kewenangan KPK yaitu penegak hukum, penyelenggara negara, atau di atas 1 Milyar.
Jika penyidik melepaskan konteks dan latar belakang tersebut di atas dengan menempatkan ini hanya kejahatan dengan dendam pribadi, maka dapat diduga ada upaya untuk mengaburkan kasus yang sesungguhnya, memutus rantai pemufakatan jahat dalam kasus ini. Penyidik seharusnya dapat menggunakan pasal penyertaan (55 KUHP) meskipun belum ada tersangka lain. Hal ini pernah dilakukan Polri saat mengenakan pasal 55 kepada Pollycarpus sebagai tersangka pembunuh Munir. Dalam kasus Munir dibentum Tim Pencari Fakta Independen yang mengungkap adanya keterlibatan Petinggi Lembaga Negara dan Penyidik pun melakukan penyidikan tidak sampai hanya pelaku lapangan saja.
Upaya menghancurkan KPK dengan ancaman, teror, intimidasi dan kriminalisasi bukan kali pertama terjadi. Setidaknya sejak tahun 2012 sampai 2017 sudah ada 6 kali peristiwa itu terjadi menimpa pegawai ataupun Pimpinan KPK. Sehingga penyidikan kasus ini tidak bisa dilepaskan dari kerja kerja Novel dan KPK dalam membongkar kejahatan korupsi. Menjadi kewajiban bagi Penyidik untuk membongkar maksud dan tujuan yang bersangkutan melakukan kejahatan ini.
Berdasarkan hal-hal itu Tim Advokasi Novel Baswedan mendesak Presiden perlu segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta dengan melibatkan orang-orang berintegritas dan kompeten agar kasus serangan terhadap Novel dapat terungkap hingga aktor intelektual atau penggeraknya.
Tim ini juga menyebut jika serangan terhadap Penyidik dan Pimpinan KPK sebelumnya harus pula diungkap.