Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Jawa Timur, Muhammad bin Muafi meminta dan mengusulkan agar pemerintah melibatkan tokoh agama, seperti ulama dan kiai Lokal untuk proses pemakaman jenazah covid 19 di Jatim.
Muhammad bin Muafi alias Gus Mamak saat dikonfirmasi, Selasa (16/6) mengatakan pendekatan bukan hanya tokoh agama level prime dan organisasi, namun justru hari ini yg lebih penting adalah tokoh agama skala desa dan kecamatan. Karena hari ini dengan keterbatasan akses pada tokoh agama yang lain, merekalah yang sehari-hari menjadi rujukan utama.
“Ulama lokal harus digandeng dalam prosedur pemakaman jenazah. Toh perangkat pemerintahan banyak sekali, bisa dari kepala desa ataupun teman teman Polsek dan Koramil melalui Babinsa nya,” cetusnya.
Dicontohkan Gus Mamak, di kecamatan Camplong, Polsek dan Koramil sangat kooperatif dalam upaya cipta kondisi. Sinerginya dengan segala lapisan juga luar biasa.
“Kalau ini ditiru dan diterapkan di daerah lain di Jawa timur, Saya yakin benturan pemahaman terkait Sinkronisasi prosedur medis dan dogmatis dalam penanganan jenazah covid 19 akan bisa diminimalisir,”ujarnya.
Lebih lanjut, ia mengaku prihatin ketika mendengar dan mendapat keluhan dari masyarakat di Madura yang menganggap jenazah keluarganya dimakamkan tidak sesuai dengan kaidah agama.”Perlu ada singkronisasi prosedur medis dan dogmatis dalam penanganan jenazah covid-19,” ujar Gus Mamak.
Anggota DPRD Jatim fraksi Golkar, ini menambahkan terjadinya penolakan penguburan jenazah dengan protokol covid 19 di beberapa daerah bukan tanpa sebab.
“Kami sadar bahwa beban gugus tugas covid sudah sangat berat, namun kondisi psikologis masyarakat Jawa timur yang agamis juga perlu di fahami, terutama pemahaman agama tentang pentingnya proses tajhiz jenazah muslim (pengurusan memandikan, kafan) agar dilakukan dengan sesuai dengan fatwa MUI,” papar Gus Mamak yang juga pengasuh ponpes Nazhatut Thullab Sampang ini.
Terjadinya penolakan pemakaman dengan protokol covid, dikarenakan karena beberapa masyarakat menganggap bahwa tajhiz jenazah (pengurusan memandikan, kafan) tidak sesuai prosedur fatwa MUI. Sehingga terjadilah beberapa kali penolakan pelaksanaan pemakaman dengan protokol covid 19. Bahkan merampas jenazah untuk diurus ulang dengan keyakinan mereka. Padahal hal tersebut sangat berbahaya, karena sangat berpotensi menularkan secara massal.
“Hal itu dipicu kasuistik pada beberapa tempat bahwa jenazah pasien covid menjelang dikuburkan disinyalir tidak terkafani bahkan baju dan aksesoris tubuh masih melekat. Ada juga yang ternyata jenazahnya tidak menghadap kiblat,” ungkapnya serius.
Maka penting bagi pemerintah, khususnya pemprov dan pemkab untuk membuat pengawasan berlapis untuk memastikan setiap jenazah covid 19 muslim yang ditangani oleh gugus tugas provinsi dan kabupaten, tajhiz jenazah dilakukan secara Islami sesuai fatwa MUI. Maksimal kan peran tokoh lokal meski harus dengan protocol, permisif pada hal yang dinggap prinsip, seperti permintaan mensholatkan meski hanya sejenak. “Agar gerakan penolakan dan perampasan jenazah tidak semakin meluas dan justru menjadi media baru penyebaran virus ini secara masif,” terang Gus Mamak.
Bagi beberapa kalangan yang fanatik, menganggap lebih baik baik tertular penyakit daripada saat terakhir orang terkasih tidak terlayani secara islami. “Itu paradigma umum di banyak masyarakat utamanya Madura, maka hal semacam ini harus segera ada solusi,” pintannya.