SurabayaSatu, SURABAYA – Ada alasan kenapa berita bernada seksis dengan judul menggoda, masih terus diproduksi media. Terutama di media online. Alasan utama tentu, karena masih banyak yang membaca dan klik. Itulah yang diungkapkan Miftah Faridl, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Surabaya ketika membuka diskusi di afternose cafe, sabtu malam (26/1).
Ia kemudian membacakan beberapa judul berita dari media online yang memiliki nada seksis. “Kira-kira apa manfaat bagi masyarakat tahu warna celana dalam Vanesa?” tanyanya, disambut tawa peserta diskusi.
Isu seksisme di media, belakangan memang kembali menjadi perhatian. Terutama setelah beberapa kasus pelecehan seksual muncul di media nasional. Sayangnya, media, akademisi, penegak hukum, juga pemerintah masih sering menyalahkan perempuan. Victim blaming. Seperti kasus Baiq Nuril, juga mahasiswi Universitas Gajah Mada.
Kegelisahan inilah yang memantik Komunitas Suara Perempuan menggelar diskusi bersama AJI Surabaya dan Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jawa timur. Sesuai dengan tema diskusi yakni, Bias Gender dalam Pemberitaan Media Massa, Faridl menjelaskan apa saja yang biasanya ditampilkan media ketika meliput perempuan. Seksualitas, citra tubuh, kelerasan seksual, dan stigma.
“Perempuan lebih sering dijadikan objek. Dan memgharapkan media bertaubat dengan semua itu; mustahil,” tegas jurnalis yang aktif di CNN ini. Untuk itu, ia mengajak para peserta untuk mulai meningkatkan kemampuan literasi. Sebab, dengan tingkat literasi yang baik, berita seksis tidak akan laku lagi. Mereka akan ditinggalkan, dan tidak lagi diproduksi secara besar-besaran.
Selain, bahwa jurnalis juga punya kewajiban yang sama untuk menaati kode etik jurnalistik dan memiliki prespektif gender. Jurnalis, menurutnya tidak boleh menjadikan asumsi patriarki sebagai dasar berfikir dalam menulis. “Itu berbahaya. Berpotensi menurunkan partisipasi perempuan untuk mau memperjuangkan hak mereka ketika terjadi kekerasan seksual,” tambahnya.
Pernyataan tersebut diamini Saras Dumasari, Bisang Advokasi KPI Jawa Timur. Menurutnya, berita seksis telah mematikan perempuan. “Kehidupan sosial mereka terganggu, ekonomi mereka terganggu, dan hak privasinya hilang,” ungkap perempuan kelahiran Banyuwangi tersebut.
Ia juga menegaskan bahwa banyaknya berita seksis, bukan saja tanggung jawab media. Tetapi juga masyarakat secara umum. “Seperti yang dilakukan remotivi, clickunbait di twitter. Itu yang harus kita lakukan. Aware dengan isu seksisme dan melaporkannya,” pungkasnya. (fat)